Poleksosbud

Deradikalisasi, Dimulai Darimana?


BeritaMujiza.com – Poleksosbud – Mau percaya atau tidak 10 tahun SBY adalah masa inkubator dari intoleransi, yang akhirnya #mengeras menjadi radikal, dan ada yg #lulus menjadi teroris murni.

Virus radikalis masuk relung-relung birokrasi, akademi, ormas, sampai gerakan-gerakan sosial yang harusnya steril.

Cara ngomongnya keras, tulisannya keras, perilakunya keras, tapi tersinggung ketika disebut #gariskeras. Itulah realitas kesulitan proses #deradikalisasi.

Apalagi realitas #mesin utama radikalis di Indonesia lebih kekanan (berbasis agama) yang membuat proses deradikalisasi semakin sulit untuk bergerak.

Benturan dengan radikalis kiri (humanis liberal) lebih terbuka. Para aktifis kiri di Asia terbentur bukan hanya dengan agama dan hukum tapi juga dengan budaya lokal. Jadi mereka sulit berkembang liar.

Kebalikannya, benturan dengan radikalis kanan sangat rawan. Puluhan juta sampai ratusan juta penganut agama tentunya tidak terima kalau kepercayaan mereka dipublikasikan negatif.

Simbol-simbol agama seperti salib, tasbih, hijab, cadar, baju agama, seruan-seruan seperti takbir, atau halleluya yang menjadi #brandimage dari agama apabila digunakan untuk hal yang buruk jelas sangat merugikan agama yang dipakai. Ribet kan?

***

Lalu Bagaimana?

Ada tiga dimensi dalam terbentuknya perilaku masyarakat, yaitu dimensi formal (birokrasi), dimensi komunal (sosial), personal (keyakinan).

Ketiga dimensi ini harus diformat ulang apabila kita mau melihat masyarakat yang berperilaku berbeda. Tanpa perubahan yang fundamental tidak akan terjadi #revolusimental atau #infrastrukturmanusia yang dimimpikan bersama.

Solusi yang bisa dilakukan adalah

1. Pada Tataran Birokrasi.

Para pengambil kebijakan sampai kepada pegawai negeri yang paling rendah harus disterilkan dari politik identitas. Pencabutan #hakpolitik adalah langkah pertama yang bisa dilakukan.

1965 PKI dibabat habis sampai keakarnya dengam korban darah sampai jutaan orang baik yang bersalah ataupun cuma kena imbas.

Akibatnya, Soeharto bisa memiliki kontrol yang luar biasa. Lahirlah era diktator Orba yang penuh pembodohan dan ketidakadilan. Kolonialisasi bentuk baru.

Lalu, ketika 1998 Soeharto jatuh, kali ini tidak ada pembantian, meskipun tetap ada korban darah, perkosaan, dan pembakaran. Lahirlah orde Reformasi yang sangat demokratif, tapi penuh lubang yang akhirnya dimasuki tikus-tikus radikal.

Lubang-lubang Orde Reformasi hadir dari orang-orang sisa Orde Baru yang selama 20 tahun terakhir masih tetap eksis, super kaya, bahkan mampu kembali masuk politik, dan mempengaruhi ekosistem.

Eksistensi roh orba ini sudah termanifestasi menjadi budaya yang oportunis dan sektarian. Oportunis karena watak, sektarian karena kebutuhan praktis untuk menggalamg kekuatan massa diluar pemerintah. Agama menjadi kuda liar politik jaman reformasi.

Semua itu bisa diselesaikan apabila hak politik dicabut. Para koruptor pada dasarnya adalah penjahat politik dan wajib juga dicabut hak pilihnya, baik untuk memilih apalagi untuk dipilih. Semoga ada terobosan hukum dibidang ini.

2. Pada Tataran Sosial

Radikalisme lahir dari paham intoleran yang akarnya adalah eksklusifisme fanatik. Ruang-ruang kosong dalam masyarakat digunakan kelompok-kelompok ini untuk menyebarkan ide dan melakukan recruitement.

Disini peran gerakan-gerakan sosial yang nasionalis dan Pancasila harus mampu memberikan pencerahan, ataupun menghadapi secara frontal gerakan-gerakan tunggangan yang hanya menggunakan NKRI sebagai kedok belaka.

Dialog-dialog kebangsaan, sarasehan dan program-program sosial rutin yang mampu menularkan virus-virus kebangsaan dapat menjadi platform yang bekerja sama dengan pemerintah di ruang publik.

3. Pada Tataran Personal

Di tataran ini peran rohaniwan (ustad, ulama, kiai, pendeta, pastor, romo, guru agama, teolog, dsb), dan keluarga inti adalah core of the core pembentukan perilaku.

Pilkada DKI 2017 yang brutal, dan Pilpres 2019 yang membelah umat membuka mata kita, bahwa para rohaniwan tidak lagi malu-malu berpolitik praktis, bahkan ikut dalam provokasi demo-demo.

Dipihak lain, bom-bom bunuh diri yang dilakukan 1 keluarga utuh, bapak-ibu beserta anak-anaknya memperlihatkan bahwa keluarga-keluarga yang salah jalan telah menjadi benih-benih teroris yang sangat berbahaya.

Sebab itu, yang pertama harus dilakukan, agama-agama yang ada harus mulai “bersih-bersih rumah”. Masing-masing harus berani terbuka mengakui serta memberikan pembinaan kedalam.

Menyangkal bahwa masalah di dalam itu ada hanya akan semakin memperparah keadaaan. Apalagi melakukan pembelaan buta karena “agama yang sama”.

Yang kedua, perjumpaan ekumenis dengan agama atau tradisi yang lain adalah solusi untuk saling mengenal dari hati ke hati. Di tataran filosofis, dialog agama menjadi penting untuk selalu diupayakan.

Sementara itu, ditataran grassroot, sangat penting silaturahmi antar keluarga yang mampu membumikan debat-debat teologis berat menjadi hal-hal praktis yang bisa dikerjakan dalam keseharian.

***

20 tahun keledai-keledai liar telah bertumbuh, berkembang, dan menjadi gerombolan yang meresahkan. Keberadaan mereka menjadi kesempatan para politikus oportunis menuju puncak kekuasaan.

Tanpa malu simbiosis antara keduanya telah menjadi kekuatan politik praktis. Itulah realitas yang harus Indonesia hadapi.

Bagaimana menjinakkan keledai-keledai liar menjadi PR terbesar NKRI dalam 5 tahun kedepan. Bukan hanya term yang baru, tapi sebuah era yang baru harus dimulai.

Orde Reformasi sudah selesai, pelantikan Jokowi-Amin untuk term 2019-2024 dapat menjadi titik awal orde yang baru, yaitu ORDE RESTORASI.

Ini waktunya NKRI dipulihkan dari luka-luka masa lalu, dan dikembalikan ke identitas dan cita-cita awal yang menjadi destiny bangsa Bhinneka ini.

Penulis : Hanny Setiawan

Comments

Hanny Setiawan

Seorang biasa dari keluarga biasa yang dipanggil oleh Tuhan yang luar biasa untuk membangun Indonesia Baru. Indonesia baru yang akan membawa kembali api pergerakan dari Timur sampai Yerusalem melalui Asia Tenggara, India, sampai Timur Tengah. #destiny

Related Articles

Back to top button