Teologi

Memotret Wajah Geopolitik “Imanuel”


BeritaMujizat.com – Teologi – Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa politik manusia, dengan segala strateginya, seringkali berakhir dalam kegagalan.

Seperti dinyatakan oleh sejarawan John Bright dalam karyanya “A History of Israel”, “Politik Timur Dekat kuno adalah panggung di mana ambisi manusia bertemu dengan rencana ilahi, menghasilkan drama yang mengungkapkan kelemahan strategi manusia dan kedaulatan Allah.” Kisah Imanuel dalam konteks politik Israel kuno menjadi cermin abadi tentang bagaimana Allah bekerja dalam sejarah manusia, mengingatkan kita bahwa pertolongan sejati tidak datang dari aliansi politik, tetapi dari penyertaan-Nya.

1. Dinamika Kekuasaan: Permainan Berbahaya yang Mengabaikan Allah

Di abad ke-8 SM, dunia Timur Dekat seperti papan catur raksasa. Asyur, di bawah kepemimpinan Raja Tiglat-Pileser III (745-727 SM), muncul sebagai kekuatan dominan yang menakutkan. Kitchen, dalam “On the Reliability of the Old Testament”, menegaskan bahwa “bukti-bukti arkeologis menunjukkan betapa sistematis dan menakutkannya mesin perang Asyur, membuat wajar jika kerajaan-kerajaan kecil mencari aliansi untuk bertahan hidup.”

Dalam kepanikan menghadapi ancaman Asyur, Kerajaan Aram di bawah Raja Rezin dan Israel Utara di bawah Raja Pekah memilih jalan yang tampaknya logis: membentuk aliansi militer. Mereka berusaha memaksa Yehuda bergabung, mencerminkan betapa manusia lebih memilih mengandalkan kekuatan gabungan dibanding berserah pada Allah. Ketika Yehuda menolak, mereka melancarkan serangan yang dikenal sebagai Perang Siria-Efraim (735-732 SM).

Bukti-bukti arkeologis dari penggalian di Tel Dan dan Damaskus menjadi saksi bisu ambisi manusia ini. Relief-relief di Nimrud menggambarkan dengan jelas bagaimana kerajaan-kerajaan kecil terpaksa tunduk di hadapan kekuatan besar. Namun, semua monumen kebesaran ini kini hanya puing-puing, mengingatkan kita akan kefanaan kekuatan manusia.

2. Raja Ahas: Tragedi Ketidakpercayaan pada Janji Allah

Kisah Raja Ahas adalah pelajaran menyedihkan tentang konsekuensi mengabaikan Allah. Dalam situasi genting, ketika Yerusalem terancam invasi aliansi Aram-Israel, Allah mengutus nabi Yesaya dengan pesan yang seharusnya menenangkan. Yesaya menyebut musuh-musuh Yehuda sebagai “puntung kayu api yang berasap” (Yesaya 7:4), sebuah metafora kuat yang menggambarkan betapa tidak berartinya ancaman mereka di hadapan Allah.

Namun, Ahas memilih mengabaikan janji ini. Prasasti Tiglat-Pileser III mencatat bagaimana raja Yehuda ini memilih berlutut di hadapan Asyur, mengirim upeti berupa emas dan perak dari Bait Allah (2 Raja-raja 16:7-9). Keputusan yang tampaknya cerdik secara politik ini justru menjadi awal malapetaka. Yehuda memang selamat dari ancaman langsung Aram-Israel, tapi menjadi budak politik dan spiritual Asyur. Bait Allah dinodai dengan altar persembahan kepada dewa-dewa Asyur, simbol tragis dari harga sebuah ketidakpercayaan.

3. Imanuel: Janji Allah yang Melampaui Zaman

Di tengah krisis kepercayaan ini, Allah memberikan tanda yang luar biasa: Imanuel. “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (Yesaya 7:14). Nama ini, yang berarti “Allah beserta kita,” bukan sekadar simbol politik temporer.

Seperti diamati oleh Edward J. Young dalam “The Book of Isaiah”, “Tanda Imanuel bukan hanya janji politik temporer, tetapi proklamasi ilahi tentang penyertaan Allah yang melampaui konteks historis menuju penggenapan mesianik yang sempurna.” Tanda ini memiliki makna berlapis. Dalam konteks langsung abad ke-8 SM, mungkin merujuk pada kelahiran putra Yesaya sendiri atau anggota keluarga kerajaan, menjadi pengingat nyata bahwa Allah menyertai umat-Nya.

Allah membuktikan kesetiaan-Nya. Seperti dinubuatkan, Aram dan Israel Utara hancur di tangan Asyur. Prasasti-prasasti kuno membuktikan akurasi nubuatan ini. Namun berbeda dengan aliansi manusia yang rapuh, janji Imanuel justru semakin kuat, mencapai puncaknya dalam Inkarnasi Kristus (Matius 1:23), penggenapan sempurna dari janji Allah untuk menyertai umat-Nya.

Pilihan yang Menentukan

Sejarah geopolitik Israel kuno mengajarkan pelajaran abadi: mengandalkan kekuatan manusia adalah jalan menuju kehancuran. Raja-raja dan kerajaan-kerajaan yang tampak perkasa lenyap, tetapi janji Allah tetap teguh. Tanda Imanuel berdiri sebagai bukti bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya.

Saat ini, ketika kita menghadapi krisis dan tekanan, kita dihadapkan pada pilihan yang sama seperti Raja Ahas: mengandalkan kebijaksanaan dan kekuatan manusia, atau berserah pada Allah yang telah membuktikan kesetiaan-Nya sepanjang sejarah. Bukti-bukti arkeologis, prasasti kuno, dan yang terpenting, penggenapan nubuatan dalam Kristus, semuanya berteriak: Allah beserta kita! Mengapa kita harus takut?

Imanuel bukan sekadar nama atau konsep teologis. Ia adalah jaminan bahwa Allah yang mengendalikan sejarah dan politik dunia adalah Allah yang menyertai kita. Dalam setiap krisis, pertanyaannya bukan

“Siapa yang bisa menolong kita?” melainkan “Mengapa kita mencari pertolongan lain ketika Allah semesta alam menyertai kita?”

#PerenunganTeologi #DailyTheologicalThought

oleh : Pdt. Dr. Hanny Setiawan, MBA

Comments

Related Articles

Back to top button