Pendidikan

Rasisme sebagai Instrumen Politik Anti Pemerintah


BeritaMujiazat.com – Poleksosbud – Kematian seorang pria kulit hitam bernama George Floyd, memunculkan gelombang kekacauan di Amerika Serikat. Kematian Floyd dinilai sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi terhadap bangsa kulit hitam. Floyd sendiri meninggal setelah lehernya diinjak dengan lutut oleh seorang polisi yang menangkapnya di Minneapolis, AS.

Demo-demo menuntut keadilan atas kematian Floyd, dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan aksi anarkisme. Pusat-pusat perbelanjaan dijarah, dan beberapa fasilitas umum juga turut dirusak, sebagai bentuk protes.  Kekacauan juga dengan cepat meluas menjalar ke daerah-daerah yang lain.

Gelombang protes dan kekacauan ini lantas menjadi bola liar untuk menggoyang pemerintahan Trump. Penangkapan dan hukuman berat yang menanti pelaku nampaknya tidak dihiraukan. Polemik ini tidak lagi sebagai tindakan kriminal, melainkan sebuah gerakan ideologis dan politis.

Stigma rasisme adalah produk dari negara  yang terus coba dilekatkan, membuat isu ini sangat menarik untuk dijadikan instrumen politik. Pola yang terjadi di AS mirip dengan yang terjadi di Indonesia, beberapa waktu lalu. Rasisme dan diskriminatif yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya menyulut kekacauan di Papua.

Pasar-pasar, toko-toko, dan gedung-gedung pemerintahan dibakar dan dirusak oleh massa sebagai bentuk aksi protes. Kekacuan yang terjadi di Papua juga menjadi bola liar untuk menggoyang pemerintahan Jokowi.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia dan AS memperlihatkan rasisme sebagai instrumen politik tidak hanya dilakukan negara untuk membangun kekuasaannya. Rasisme sebagai instrument politik kini muncul sebagai kekuatan oposisi politik yang siap menggoyang pemerintahan tertentu.

Isu tentang rasisme memang isu yang seksi untuk dijadikan kekuatan politik. Empati seseorang melihat penderitaan atau kematian sebuah kaum sangatlah emosional. Penderitaan dan kematian suatu kaum, suku, atau ras dengan cepat dapat menumbuhkan solidaritas.

Perasaan benci terhadap negara atau kekuasaan yang membabi buat akibat rasisme ini, membuat orang tidak dapat melihat proses transformasi yang sedang terjadi di dalam pemerintahan. Ketidak mampuan untuk melihat dimanfaatkan sebagai serangan balik oleh kelompok yang terancam transformasi yang ada didalam pemerintahan.

Rasisme sebagai instrumen politik bahkan rela membenturkan manusia dengan kekerasan atau maut. Hal ini supaya memancing munculnya “martir-martir” baru yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan politik. Orang-orang yang dikorbankan di garis depan menjadi pendorong untuk menciptakan gerakan yang lebih besar.

Rasisme memang jahat, akan tetapi rasisme sebagai instrumen politik justru lebih jahat. Sebagai instrumen politik, rasisme dipelihara dan terus dibebankan pada generasi-generasi selanjutnya.

Rasisme sebagai instrumen politik ini juga mengungkap mengapa rekonsiliasi sebagai tawaran dari pandangan kebenaran firman Tuhan dalam melihat konflik, tidak mudah diterima. Rekonsiliasi tentunya menghilangkan sentimen rasisme yang dapat dikelola sebagai kekuatan politik.

Dalam iman Kristen, rasisme justru dipakai untuk merilis perdamaian dan pengampunan. Tuhan Yesus sendiri menjadi role model bagaimana perlakuan tidak adil yang diterimaNya tidak dijadikan untuk menyebarkan kebencian, melainkan kasih.

Lahir sebagai kaum, suku, atau ras tertentu sesungguhnya adalah anugerah karena kita tidak dapat menentukan untuk lahir dimana. Identitas yang kita bawa sejak lahir adalah kekayaan rahasia panggilan Tuhan atas kaum, suku, atau ras tersebut

 

Penulis : Gilrandi ADP

Comments

Related Articles

Back to top button