Predestinasi Bukan Fatalisme: Kehendak Allah Tidak Selalu Terjadi
BeritaMujizat.com – Teologi – “Mengapa engkau tidak melakukan kehendak Tuhan?” Pertanyaan ini sering kita dengar dalam percakapan Kristen sehari-hari. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: kehendak Tuhan yang mana?
Ketika Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Tesalonika, “Inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1 Tesalonika 4:3), apakah ini berarti semua orang percaya pasti hidup kudus? Pengalaman dan realitas menunjukkan tidak demikian.
Dalam tradisi Reformed, pemahaman tentang kehendak Allah jauh lebih dalam dari sekadar mengatakan “semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan.” Para teolog Reformed klasik, dimulai dari John Calvin sendiri, telah menguraikan dengan cermat bahwa kehendak Allah memiliki beberapa dimensi yang berbeda.
Mari kita mulai dengan sebuah ilustrasi dari kehidupan sehari-hari. Seorang ayah mengatakan kepada anaknya, “Saya ingin kamu belajar dengan rajin dan mendapat nilai bagus.” Ini adalah kehendak sang ayah yang dinyatakan (preceptive will). Namun, sang ayah juga tahu bahwa anaknya mungkin akan memilih untuk bermain game dan mengabaikan studinya. Meskipun demikian, sang ayah, dalam kebijaksanaannya, mengizinkan hal ini terjadi untuk memberikan pelajaran berharga bagi anaknya (decretive will). Sang ayah tetap berharap dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya (dispositional will), meski ia mengizinkan anaknya mengalami konsekuensi dari pilihannya sendiri.
Demikian pula dengan Allah. Rasul Paulus menulis dalam 1 Timotius 2:4 bahwa Allah “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Namun realitanya, tidak semua orang diselamatkan. Apakah ini berarti kehendak Allah gagal? Tidak. Ini menunjukkan bahwa ada kehendak Allah yang bersifat disposisional – apa yang menyenangkan hati-Nya dan yang Ia inginkan – yang berbeda dari kehendak ketetapan-Nya.
John Calvin dalam Institutes-nya menegaskan bahwa predestinasi berbeda dari fatalisme. Ia menulis, “Mereka yang menjadikan doktrin predestinasi sebagai tameng untuk membenarkan kejahatan mereka sepenuhnya salah memahami maksud Allah.” Senada dengan ini, Louis Berkhof menjelaskan bahwa kehendak perintah Allah (preceptive will) – yang dinyatakan dalam hukum-hukum moral-Nya – dapat dan sering dilanggar oleh manusia.
Rasul Paulus sendiri menunjukkan perbedaan ini dalam suratnya kepada jemaat di Roma. Di satu sisi ia berbicara tentang kehendak Allah yang tidak dapat digagalkan dalam pemilihan (Roma 9), namun di sisi lain ia juga berbicara tentang tanggung jawab manusia untuk “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Roma 12:1).
Herman Bavinck, teolog Reformed terkemuka, memberikan wawasan mendalam tentang hal ini. Ia menjelaskan bahwa Allah dengan tulus menginginkan keselamatan semua orang, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, namun dalam kedaulatan-Nya, Ia mengizinkan manusia menolak tawaran keselamatan ini. Ini bukan kontradiksi, melainkan menunjukkan kompleksitas kehendak Allah yang melampaui pemahaman manusia.
Pemahaman ini memiliki implikasi praktis yang mendalam bagi kehidupan Kristen. Ketika kita menghadapi kejahatan dan penderitaan, kita tidak bisa begitu saja mengatakan “ini kehendak Tuhan.” Seperti yang ditulis Paulus dalam 1 Tesalonika 5:18, kita diminta untuk “mengucap syukur dalam segala hal,” bukan “untuk segala hal.” Ada hal-hal yang terjadi yang bukan merupakan kehendak moral atau disposisional Allah, meskipun Ia mengizinkannya terjadi dalam kedaulatan-Nya.
Jonathan Edwards merangkum hal ini dengan indah ketika ia menulis bahwa kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya seringkali berbeda dari apa yang Ia izinkan terjadi dalam providensi-Nya. Namun keduanya tidak bertentangan, melainkan bekerja bersama dalam rencana-Nya yang sempurna.
Pemahaman yang benar tentang kehendak Allah ini membebaskan kita dari fatalisme yang melumpuhkan dan mendorong kita untuk hidup dalam ketaatan aktif. Kita dipanggil untuk melakukan kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya, sambil percaya pada kedaulatan-Nya yang mengatur segala sesuatu bagi kebaikan mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
TIDAK SEMUA KEHENDAK ALLAH ADALAH KETETAPAN ALLAH!
Penting untuk dipahami bahwa ketiga dimensi kehendak Allah – decretive (ketetapan), preceptive (perintah), dan dispositional (disposisi) – bukanlah tiga kehendak yang terpisah dan bertentangan, melainkan satu kesatuan yang utuh yang mencerminkan kompleksitas dan kepenuhan Allah sendiri. Seperti misteri Allah Tritunggal yang adalah tiga pribadi namun satu Allah, demikian juga kehendak Allah memiliki tiga dimensi namun tetap merupakan satu kehendak yang sempurna. Herman Bavinck mengingatkan bahwa “kesatuan dalam keragaman ini mencerminkan kemuliaan Allah yang tak terbatas.”
Pemahaman yang mendalam ini sebenarnya menunjukkan bahwa perbedaan antara teologi Reformed dan non-Reformed dalam memandang kehendak Allah tidaklah sejauh yang sering dibayangkan. Baik tradisi Reformed maupun non-Reformed sama-sama mengakui bahwa ada kehendak Allah yang dapat dilawan (seperti yang terlihat dalam perintah-perintah moral-Nya) dan ada kehendak-Nya yang pasti terjadi (seperti dalam karya penyelamatan-Nya). Konflik dan polarisasi yang sering terjadi lebih banyak disebabkan oleh kesalahpahaman dan kecenderungan sebagian penganut Reformed yang terlalu menekankan aspek decretive will, seolah-olah semua yang terjadi adalah ketetapan Allah yang tak terelakkan.
Dengan demikian, pemahaman yang tepat tentang tiga dimensi kehendak Allah ini bukan hanya menjembatani jurang yang tampak antara teologi Reformed dan non-Reformed, tetapi juga membebaskan kita dari fatalisme yang keliru sambil tetap mempertahankan keyakinan akan kedaulatan Allah yang penuh. Inilah keseimbangan teologis yang sehat yang perlu kita kejar dan praktikkan dalam kehidupan iman kita sehari-hari.
Yehezkiel 18:23-24 (TB) Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?
Jikalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan seperti segala kekejian yang dilakukan oleh orang fasik — apakah ia akan hidup? Segala kebenaran yang dilakukannya tidak akan diingat-ingat lagi. Ia harus mati karena ia berobah setia dan karena dosa yang dilakukannya.
Oleh : Pdt. Dr. Yusuf Hanny Setiawan, MBA