Bercermin Dari Ahok, Gereja Harus Lebih Mengajarkan Nasionalisme Kristen
BeritaMujizat.com – Mandat Budaya – Demo akbar 4 November yang menuntut Ahok diperkarakan karena penistaan agama telah membukakan mata banyak elemen bangsa. Bukan hanya secara sosial politik, tapi juga elemen gereja sendiri juga semakin melihat bahwa ternyata gereja masih sangat kurang dalam melengkapi jemaat dalam bernegara.
Ahok bukanlah sebuah anomali. Kebalikannya, dalam hal nasionalisme kristen, Ahok (dengan segala kekurangannya) adalah sosok pengikut Kristus yang seharusnya dicontoh. Artinya, Gereja harusnya bisa melahirkan lebih banyak Ahok-Ahok lain.
Bahkan berdasarkan amanat Agung, Gereja tidak pernah terlepas dari tanggung jawab “memuridkan bangsa”. Jemaat Tuhan haruslah orang-orang yang cinta Tuhan, sekaligus cinta bangsa.
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat 28:19)
Nasionalisme bukanlah bagian terpisah dari iman kristen. Dalam Perjanjian Lama, nasionalisme jelas adalah bagian dari kehidupan Daniel, Esther, Yusuf, apalagi Daud. Dalam Perjanjian Baru, nasionalisme kristen disempurnakan bukan hanya sebatas kewargaan fisik, tapi lebih dari itu pengikut Kristus memilik kewargaan ganda (dual citizenship).
Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat (Fil 3:20)
Sebagai WNI (Warga Negara Indonesia) sekaligus WNS (Warga Negara Surga), pengikut Kristus harus mampu hidup dalam dua dunia tapi satu agenda, agenda Kerajaan. Kitab Wahyu memperlihatkan akhir agenda kerajaan adalah semua bangsa akan berdiri dihadapan Anak Domba. Tugas Gereja adalah mempersiapkan diri untuk waktu Ilahi itu.
Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.
(Wahyu 7:9)
Jadi, Nasionalisme Kristen bersifat natural sekaligus supranatural. Secara natural kita tunduk hukum Indonesia yang diatur di UUD, KUHP, dan berdasarkan Pancasila. Secara supranatural, Roh Kudus akan menuntun umatNya dari satu kemulian kepada kemuliaan yang lebih besar (II Kor 3:18).
Dalam kerangka teologis kristen, konflik antara hukum positif dan hukum kerajaan tidak akan terjadi apabila kita dituntun oleh Roh menurut nilai-nilai kerajaan. Ini yang menjadi dasar bahwa pengikut Kristus dapat hidup dalam bentuk pemerintahan seperti apapun untuk menjadi garam dan terang.
Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. (Gal 5:22-23)
Ketika hidup kita dipimpin Roh dan menghasilkan buah Roh dalam kondisi kegelapan seperti apapun terang itu akan terus menerangi. Bahkan semakin gelap semakin terlihatlah anak-anak Tuhan. Semakin hambar, semakin terasalah anak-anak Tuhan.
Tingkat kompleksitas negara Bhinneka seperti Indonesia bisa dikatakan yang tertinggi di dunia manapun. Hidup sebagai pengikut Kristus dan tetap berhati merah putih di negeri ini bukanlah hal yang mudah. Tapi mandat itu sudah diberikan bagi kita yang dilahirkan ibu Pertiwi.
Ahok sudah memberikan contoh di masa ini untuk hidup sebagai orang kristen Indonesia yang benar. Kekuatan dia kita contoh, kelemahan dia kita perbaiki. Tapi yang jelas Gereja tidak boleh tutup mata lagi. Nasionalisme Kristen harus diajarkan dimimbar-mimbar minggu kita semakin hidup secara holistik. Bagi Tuhan, dan bagi Indonesia.
Penulis : Hanny Setiawan
Sumber : IKRI