PGI Akhirnya ‘Keluar Dari WC’ Menyatakan LGBT Tidak Menyalahi Firman
Henriette (Ketua Umum) dan Gomar Gultom (Sekretaris Umum)
BeritaMujizat.com – Mandat Budaya – Tanpa banyak yang mengetahui, 20 Juni 2016 telah terjadi sesuatu yang sangat menyesakkan hati pengikut Kristus di Indonesia. Kesesakan yang disertai kemarahan karena merasa ditelikung oleh pemimpin sendiri. Ditelikung PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia)!
MPH (Majelis Pengurus Harian) PGI yang saat ini dipimpin Pdt. DR Henriette Hutabarat (ketua mum), dan Pdt. Gomar Gultom (sekrataris umum) membuat pernyataan pastoral pastoral yang terdiri dari Pengantar, 7 Pernyataan Titik Tolak, 4 Pernyataan Rekomendasi, dan 1 Penutup, dengan penekanan bahwa LGBT hanyalah bawaan (given) dari bayi, bukan penyakit psikologi, maupun penyakit spiritual, dan bukan dosa (sumber resmi).
Keluarnya PGI dari WC (terjemahan lugas dari come out of closet) sebenarnya sudah bisa ditebak dari awal. Karena memang para pemimpin PGI ini lebih banyak dari golongan liberal dan pro-humanis. Meskipun demikan, pernyataan lugas nan vulgar bahwa LGBT tidak menyalahi Firman Tuhan (baca : dosa) benar-benar sangat mengejutkan.
Indonesia yang mayoritas muslim dan konservatif, kekristenan Indonesia yang didominasi injili, prostestan, karismatik yang konservatif, disertai sosial budaya masyarakat yang juga masih sangat timur, rupa-rupanya tidak menjadi hitungan sama sekali oleh para petinggi PGI.
Pemikiran humanis-liberal yang sangat kebarat-baratan dan sama sekali tidak Alkitabiah (menurut kacamata mainstream) benar-benar tidak bisa mewakili kekristenan mayoritas yang ada di Indonesia. Hal ini sangat berbahaya bukan hanya secara rohani, tapi juga secara politik.
Barack Obama, tokoh LGBT modern, terbukti telah mampu mempengaruhi PBB untuk mengalokasikan dana strategis penyebaran ide LGBT ke negara-negara, termasuk Indonesia.
Untuk mendukung komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBTI), sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID.
Dana sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand. (Sumber)
Strategi level tinggi Obama yang diplot untuk dilanjutkan Hillary Clinton ini rupa-rupanya tidak lagi menjadi peperangan di negara Paman Sam. Tetapi, rupa-rupanya sudah sampai ke negeri ‘Ibu Pertiwi’.
Bukan hanya ‘gereja’ yang terluka dengan pernyataan pastoral PGI, tapi secara politik para pembela NKRI harus waspada. Kalau di Amerika isu LGBT dan radikalisme sudah bisa digunakan Obama untuk terus memimpin, maka pola yang sama bisa terjadi di Indonesia. Politisasi isu LGBT bisa menjadi celah untuk menjatuhkan Jokowi (baca ulasan), dan PGI tidak bisa melihat hal ini, atau tidak perduli?
Secara kerohanian tidak bisa diterima, secara politik membahayakan, maka secara organisasi PGI layak untuk ditinggalkan apabila tidak berubah arah alias kata bertobat. Paling tidak, PGI tidak berhak lagi disebut mewakili umat Kristen atau gereja Indonesia. Di negara Pancasila, PGI dan lembaga lain boleh berpendapat apapun, termasuk mengatakan LGBT tidak melanggar Firman Tuhan, tapi bukan untuk mewakili umat gereja dan umat Kristen.
Catatan:
Artikel ini tidak menyatakan bahwa LGBT harus dimusuhi, dan dibenci. Tapi artikel ini menggarisbawahi bahwa LGBT harus dikasihi, dicintai, dan diterima sebagai pendosa yang memerlukan Kristus sebagai juru selamat.
Penulis : Hanny Setiawan
Sumber : IKRI (Institut Karismatik Reformasi Indonesia)