Memaknai Penistaan Agama, Siapa Yang Berhak Menentukan?
BeritaMujizat.com – Editorial – Hukum negara Indonesia mengakui apa yang disebut penistaan agama adalah sesuatu yang melanggar hukum. Fakta hukum ini diakui dan harus dijalani WNI tanpa memandang bulu sebelum ada perubahan yang hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dasar hukum utama yang berlaku sekarang ini adalah UU no. 1 PNPS/1965 yang ditandatangani pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno. Dari ruang lingkup UU tersebut, landasan hukum yang mencoba menjerat Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok adalah pasal 156 dan 156a KUHP. Berikut adalah bunyi pasal 156 secara komplit:
Pasal 156a KUHP
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apakah Ahok masuk jerat pasal ini? Itulah inti pertarungan dalam persidangan Ahok. Jaksa mengatakan ya, pembela mengatakan tidak, dan hakim yang akan menentukan jaksa atau pembela yang benar. Dan kalau hakim sudah mengambil keputusan, maka yang bisa dilakukan Ahok hanyalah naik banding, dan itulah proses hukum yang harus dilalui Ahok.
Meskipun banyak sudut pandang yang bisa diperdebatkan mulai dari masalalah niat (mens rea), sampai konteks ucapan Ahok, tapi sebenarnya yang menjadi pertanyaan penting untuk didiskusikan, apa indikator, parameter, ataupun definisi dari penodaan atau penistaan itu sendiri.
Karena kasus Ahok sudah menjadi milik publik, maka publik harus mengawal dan memastikan indikator, parameter, dan definisi yang digunakan adalah tepat.
***
Dalam kasus Ahok, dia didakwa menistakan agama Islam, kemudian pertanyaan selanjutnya adalah Islam yang mana? Apakah pelapor bisa mengatasnamakan diri sebagai perwakilan keseluruhan Islam? Karena kalau setiap pelapor dapat disebut mewakili agama tertentu, maka betapa chaos-nya hukum di Indonesia.
Hal ini penting untuk diklarifikasi karena setiap agama memiliki banyak sekali aliran dan akibatnya perspektif yang digunakan adalah perspektif masing-masing aliran.
Jaksa akan mengajukan ulama-ulama yang setuju ini kasus penistaan, pembela akan mengajukan ulama-ulama yang tidak setuju ini kasus penistaan. Akibatnya, di sidang akan terjadi perang dalil, doktrin, dan kepercayaan. Apakah ini tepat untuk ranah publik, bukankah ini urusan dapur masing-masing pribadi?
Demikiran juga penyebutan ayat kitab suci yang dilakukan Ahok apakah jadi masalah karena Ahok yang menyebutkan, tapi kalau Gus Dur yang menyebutkan tidak ada yang berani menyentuh? Patut dicatat, hal ini yang membuat di nota keberatan Ahok di persidangan menyebutkan alm. Gus Dur mendukung dia.
Semuanya ini memperlihatkan bahwa istilah penodaan atau penistaan tidak seharusnya didefinisikan secara agamis, tapi harus dari perspektif hukum positif. Meskipun obyeknya adalah kelompok agamis yang merasa dinistakan, hukum harus memiliki indikator, parameter, dan definisi sendiri yang bebas tafsir.
Dengan demikian, kedepan, tidak akan ada lagi dengan gampang pelapor melaporkan kasus penistaan dan mewakili agama tertentu
***
Proses menentukan indikator yang tepat ini adalah proses dialog antar umat beragama. Wakil-wakil rakyat yang ada DPR seharusnya melihat ini sebagai potensi untuk membuat perubahan UU ataupun membuat UU baru yang lebih bebas tafsir.
Menjadi hal yang tidak wajar apabila wakil rakyat seperti Fadli Zonk dan Fahri Hamzah malah ikut turun demo dan menjadi pendukung salah satu tafsir. Ini sebuah pelanggaran yang seharusnya mendapatkan sanksi berat.
Bukan hanya mereka berdua, komentar-komentar politis yang kerap dilakukan Bambang Soesatyo ketua Komisi III DPR, dan yang terakhir komentar Yandri Susanto dari PAN yang mencelotehi air mata Ahok di persidangan perdana, seharusnya dihentikan. Para wakil rakyat ini seharusnya mulai fokus ke esensi permasalahan, yaitu indikator penistaan itu sendiri.
Proses hukum Kasus Ahok sudah bergulir, isu Ahok akan dikorbankan merebak di sosial media. Atau mungkin tepatnya, Ahok “sudah” dikorbankan untuk menjadi terdakwa karena tekanan masa, salah satu hal yang kita bisa lakukan adalah melakukan pengawalan kasus ini melalui media sosial.
Paling tidak, kasus model penistaan ini cukuplah berhenti di Ahok. Karena masih banyak WNI kristen tionghoa lainnya yang punya hati untuk bangsa ini. Jangan matikan potensi kelompok ini karena kepentingan politisi-politisi busuk (istilah pembela Ahok di persidangan perdana) dengan menafsirkan penistaan demi kepentingan syahwat politik.
Salam Damai dan Bhinneka,
Penulis : Hanny Setiawan
Sumber : Seword.com