Ketika Calvinisme Merintis Jalan Teologi Kemakmuran: Sebuah Kritik Historis
BeritaMujizat.com – Teologi – Ironi historis yang jarang diperhatikan dalam diskursus teologi kontemporer adalah bagaimana kritik terhadap Teologi Kemakmuran modern seringkali mengabaikan akarnya yang tertanam dalam tradisi Calvinisme.
Pandangan bahwa kesuksesan material bisa menjadi indikator berkat ilahi bukanlah inovasi dari pengkhotbah kemakmuran abad ke-20, melainkan warisan yang tidak disengaja dari reformasi Protestan, khususnya tradisi Calvinis.
Max Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” menguraikan dengan tajam bagaimana doktrin predestinasi Calvinis menciptakan kecemasan eksistensial yang mendalam. “Pertanyaan, ‘Apakah saya termasuk yang terpilih?’ harus muncul dalam benak setiap orang percaya dan mengalahkan semua kepentingan lainnya,” tulis Weber. Kecemasan ini mendorong pencarian akan tanda-tanda keselamatan dalam kehidupan sehari-hari.
Calvin sendiri dalam “Institutes of the Christian Religion” menekankan bahwa keselamatan adalah pilihan mutlak Tuhan: “Dengan predestinasi, kita mengartikan keputusan kekal Tuhan, yang dengannya Ia telah menetapkan apa yang Ia kehendaki terjadi pada setiap manusia.” Doktrin ini, yang dimaksudkan untuk menekankan kedaulatan Tuhan, justru menciptakan kebutuhan psikologis akan kepastian di antara pengikutnya.
Paralel historis dengan Teologi Kemakmuran modern menjadi sangat jelas ketika kita menelusuri bagaimana komunitas Calvinis awal mengembangkan “tanda-tanda keselamatan” ini. Weber mencatat: “Kesuksesan dalam panggilan profesional menjadi ‘tanda’ paling pasti dari status seseorang di hadapan Tuhan.” Bukankah ini mirip dengan klaim teolog kemakmuran modern bahwa berkat material adalah bukti favor ilahi?
Calvin memang menulis tentang berkat material dalam komentarnya atas Ulangan 28: “Tuhan berjanji untuk memberkati umat-Nya dalam segala upaya mereka, sehingga mereka akan mengumpulkan kelimpahan dari hasil bumi mereka.” Namun, konteks historisnya berbeda dengan interpretasi modern. Bagi Calvin, kemakmuran bukanlah tujuan, melainkan konsekuensi potensial dari kehidupan yang saleh.
Transformasi gradual terjadi ketika generasi-generasi berikutnya mengembangkan apa yang Weber sebut sebagai “Protestant ethic.” Kerja keras, efisiensi, dan akumulasi kekayaan menjadi kebajikan spiritual. Weber mengamati: “Salah satu elemen konstitutif dari semangat kapitalis modern adalah rasionalisasi berdasarkan perhitungan yang ketat, perencanaan sistematis.”
Namun di sinilah “lubang teologi” dalam Calvinisme menjadi nyata. Ketika kesuksesan material menjadi indikator berkat ilahi, muncul kontradiksi dengan doktrin predestinasi itu sendiri. Jika keselamatan telah ditentukan sejak kekekalan, bagaimana mungkin tanda-tanda eksternal bisa menjadi buktinya? Lebih problematis lagi, pendekatan ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa kemiskinan adalah tanda ketidakberkenanan Tuhan.
Teologi kemakmuran modern hanyalah kelanjutan logis dari premis ini. Ketika kesuksesan material dianggap sebagai konfirmasi status spiritual, jalan menuju materialism religious telah terbuka lebar. Perbedaannya hanya pada tingkat eksplisitnya: apa yang implisit dalam Calvinisme menjadi eksplisit dalam teologi kemakmuran.
Weber menyimpulkan dengan mengamati bahwa “semangat asketis Protestan yang serius… telah melarikan diri dari sangkar baja.” Hari ini, kita melihat konsekuensinya dalam bentuk teologi yang secara eksplisit mengaitkan berkat material dengan status spiritual – sebuah pandangan yang ironisnya akan membuat Calvin sendiri tidak nyaman.
Maka, revisi teologis mendalam diperlukan. Calvinisme perlu meninjau ulang bagaimana doktrin predestinasi telah secara tidak sengaja membuka pintu bagi materialisme spiritual. Kesuksesan material tidak bisa dan tidak seharusnya menjadi indikator berkat ilahi. Ini bukan hanya masalah teologis, tapi juga pastoral: bagaimana kita bisa berbicara tentang penderitaan dan kemiskinan jika kita menerima premis bahwa kemakmuran adalah tanda berkat Tuhan?
Warisan Calvinis tentang kemakmuran sebagai indikator berkat ilahi perlu ditinjau ulang bukan hanya untuk mengoreksi teologi kemakmuran modern, tapi juga untuk memurnikan kembali pemahaman kita tentang anugerah Tuhan yang tidak bisa diukur dengan standar material apapun.