Apakah “Blunder” Hamba Tuhan akan Terjadi Lagi di Natal Monas?
Beritamujizat.com – Poleksosbud – Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) telah mengambil langkah tegas untuk tidak bersedia ikut bergabung dalam acara Natal di Monas. PGI mewaspadai agenda politik di balik mobilisasi massa pada acara tersebut.
PGI juga menghimbau umat Kristen sebaiknya melakukan ibadah Natal di rumah atau gereja bersama keluarga. PGI sangat menyayangngkan apabila acara hari besar keagamaan hanya jadi konsumsi politik untuk kepentingan tertentu. Apalagi acaranya di Monas, dimana belum lama ini terjadi polemik soal politisasi agama yang belum sepenuhnya reda.
Akan tetapi, ada beberapa kelompok seperti umat Kristiani dari Gereja Pentakosta dan Lembaga Injil Indonesia mendukung untuk tetap diadakannya acara Natal di Monas. Kelompok ini juga mendapat dukungan dari bapak Hasyim Djojohadikusumo.
Baca juga : Natal DKI Dipolitisasi Akankah Gereja Membiarkannya
Bapak Hasyim ini juga menjadi tokoh yang berperan penting pada acara ibadah ucapan syukur kemenangan Prabowo pada pilpres 2014 lalu. Acara ini kemudian menjadi polemik dan menjadi blunder cukup memalukan yang dilakukan hamba Tuhan dan Gereja.
Akibat blunder tersebut suara Kenabian yang menjadi fungsi utama Gereja Tuhan untuk menjaga bangsa ini menjadi tidak memiliki pengaruh apa-apa. Bahkan Gereja justru menjadi bahan olok-olokan masyarakat setelah blunder tersebut.
Ini menjadi bukti nyata bahwa seringkali banyak hamba Tuhan dan Gereja menjadi instrumen dalam politik. Hamba Tuhan dan Gereja seharusnya mampu memberi pencerahan ditengah dinamika politik yang rumit dan penuh intrik.
Akankah blunder hamba Tuhan dan Gereja akan terulang kembali pada acara Natal di Monas? Masihkan hamba Tuhan dan Gereja Tuhan gagal memahami potensi penyimpangan yang begitu besar. Meskipun kemarin ada beberapa gereja, yang salah satunya dibawah naungan Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) telah menolak dan menganjurkan Gereja untuk berpolitik praktis (sumber).
Akan tetapi upaya nekat mengadakan Natal di Monas ditengah isu politisasi agama yang belum reda hanya akan berpotensi menjadi blunder lagi. Apalagi dengan jelas PGI telah menolak acara Natal di Monas. Kenekatan untuk tetap mengadakan acara disana hanya dinilai sebagai bentuk politik prastis yang tentunya berbeda dengan prinsip yang telah diikrarkan.
Polemik Natal di Monas semoga menjadi pelajaran berharga hamba Tuhan dan Gereja dalam menyikapi dinamika politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan spiritual. Jangan sampai hamba Tuhan dan Gereja menjadi alat untuk dipolitisasi. (RND)