Papua Belum Merdeka?
BeritaMujizat.com – Editorial – Papua bergolak. Dimulai dari kericuhan antara mahasiswa Papua, ormas, dan aparat di Surabaya, Kota Injil Manokwari (Papua Barat) pun meledak terjadi kericuhan sampai aksi pembakaran gedung DPRD (19/8/2019). Sorong, Jayapura, Timika dan Fak-Fak pun terseret dan sentimen yang sama.
Seperti biasa, kebisingan politik segera merambah. Tak kurang, mulai dari Gubernur Jatim, Walikota Surabaya, dan beberapa pemimpin daerah lainnya mencoba menenangkan orang-orang Papua yang tinggal di Jawa. Bahkan permintaan maaf terlontar dari mereka.
Eskalasi politik meningkat. Presiden Jokowi pun merespon dengan singkat tapi tajam:
Jadi, saudara-saudaraku. Pace, mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air, yang paling baik adalah saling memaafkan
– Sumber : Kompas.com –
Di level RI1, pernyataan singkat ini berarti sangat luas. Seorang Presiden harus bisa melihat akar permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Dan Jokowi seorang praktis dan pekerja tulen bisa melihat bahwa akarnya sudah sampai dilevel emosi, perasaan, dan personal (ketersinggungan).
Artinya, entah by design, atau by accident, realitasnya ketersinggungan itu sudah ada. Perasaan sudah terlukai. Soal pidana, subversi, ataupun pihak mana yang mendalangi, itu dikerjakan “sambil jalan”, tapi perasaan marah harus diredam dulu. Itulah potret sementara apa yang terjadi di jagat NKRI saat ini.
Mengapa Manokwari, Mengapa 2019?
Manokwari adalah kota strategis baik secara rohani maupun secara politik. Kota yang dijuluki Kota Injil ini adalah tempat pertama Injil masuk ke Tanah Papua. Ottow & Geisler dua orang Misi (zending) yang sering disebut “rasul papua” setelah melalui proses panjang akhirnya mampu berlabuh di Pulau Mansinam, Manokwari. Itulah awal kekristenan di Papua.
Dari Pulau Mansinam itulah akhirnya Injil tersebar keseluruh Pulau Papua. Sebab itu bisa dikatakan Pulau Mansinam di Manokwari itu adalah Ground Zero (titik nol) dari Pulau Papua secara profetis. Itulah sebabnya Manokwari menjadi strategis.
Secara politik, dan kita percaya itu tidak kebetulan, gerakan Papua Merdeka itu didirikan tahun 1965 di Papua Barat (West Papua) yang ibukotanya adalah Manokwari (sumber). Kepentingan asing di tanah Papua sudah tidak perlu dipertanyakan.
Setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agutus 1945, Indonesia masih harus melalui perang Kemerdekaan selama 4 tahun. Baru 27 Desember 1949, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menyerahkan Indonesia sepenuhnya.
Itupun dengan menyisakan status Papua Barat, atau waktu itu disebut Irian Jaya. Setelah perjuangan diplomasi yang berat, 15 Agustus 1962, melalui Perjanjian New York, Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). (sumber)
Setelah 1 Oktober 1962 Belanda secara resmi menyerahkan otoritas kepada UNTEA maka 31 Oktober 1962 secara de yure Merah Putih mulai berkibar di Tanah Papua. 7 tahun tepat seperti permintaan perjanjian New York, di tahun 1969 tanah Papua mengadakan Pepera (penentuan pendapat rakyat) atau kita kenal dengan sebutan Referendum.
Referendum di mulai 14 Maret 1969, di selesaikan 4 Agutus 1969 di Merauke, dan diterima dan disetujui PBB tanggal 19 November 1969. Pelaksanaan Pepera sendiri disaksikan utusan PBB, Australia, dan Belanda.
Berarti tahun ini, 2019, tepat 50 tahun semua peristiwa bersejarah itu terjadi. Apakah kebetulan tiba-tiba seluruh bangsa, dan masyarakat internasiona di ajak menengok kembali peristiwa 50 tahun yang lalu? Apa yang sebenarnya terjadi?
Papua & Indonesia di Mata Tuhan
Apa kata manusia adalah noise (bising), apa kata Tuhan adalah voice (suara). Ditengah kebisingan politik, gerakan hak asasi manusia, dan para oportunis yang disambut kenaifan anak-anak Tuhan membuat semakin sulit menentukan dan membedakan keduanya : Bising vs Suara!
50 tahun adalah angka profetis tahun kemerdekaan, tahun Yobel atau tahun pembebasan. Jadi, memang ini waktunya Papua untuk dibebaskan dan dimerdekakan. Tetapi, bukan secara politik seperti yang dibayangkan dan dipikirkan para politisi dan kelompok OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Sama seperti permintaan para murid Yesus sebelum Dia naik ke surga dalam Kisah 1:6
Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?”
Para murid mengira Yesus akan menjadi raja Israel secara politis dan bersama melawan Romawi, tapi Kerajaan Surga memiliki blueprint yang berbeda.
Melihat dari kacamata Kerajaan adalah kunci untuk mengurai permasalahan dunia baik yang bersifat pribadi, lokal, sampai kota, bangsa dan universal. Sebab itu, seperti perkataan Rasul Yohanes di kitab Wahyu “Naik, dan Lihatlah!”
Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya, sebuah pintu terbuka di sorga dan suara yang dahulu yang telah kudengar, berkata kepadaku seperti bunyi sangkakala, katanya: Naiklah ke mari dan Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang harus terjadi sesudah ini. (Wahyu 4:1)
Tubuh Kristus di Indonesia diajak untuk Naik lebih tinggi karena Tuhan mau menunjukkan sesuatu dari peristiwa yang tiba-tiba mencuat di tanak Papua, dan Indonesia.
Dalam dimensi Kerajaan, sebagai satu Tubuh Kristus, keluarga di Papua & Indonesia tidak berdiri sendiri, secara sistemik semua melekat, dan tersambung menjadi SATU.
Bulan Januari 2019, ada pesan apostolik yang kuat bahwa Tudung Kebangunan Rohani sudah dibuka, nyanyian baru dari pulau-pulau sudah saatnya didengar bangsa-bangsa.
Baca : Tudung Indonesia Terbuka, Kebangunan Rohani Diluncurkan Surga!
Bulan Mei 2019, kembali pesan apostolik dikumandangkan. Tabut Perjanjian untuk Indonesia ditanam dan dikubur. PerjanjianNya dengan Israel menjadi bagian Indonesia. Israel suku yang sulung, menjadi satu dengan suku-suku Indonesia (Nusantara) menuju Nusantara yang Baru.
Baca : Memasuki Era Baru Indonesia
Era baru sudah dimulai sejak 22 Mei 2019. Tabut kemuliaan Tuhan sudah ditanam di bumi Indonesia. Berkat-berkat sulung untuk Indonesia sudah dideklarasikan. Itulah sebabnya “si jahat” mencoba mengoyak Indonesia di hari itu, dengan cara-cara anarkis. Tapi Yesaya 55:11 sudah jelas, ini waktunya Indonesia, shalom bagi Indonesia.
Ada beberapa hal strategis yang perlu dicatat dalam memasuki Era Baru Indonesia. Yang pertama, dibutuhkan tingkat baru kesatuan (oneness) dari Tubuh Kristus. Untuk ini dibutuhkan restorasi, rekonsiliasi, dan penyelarasan baru. Ini waktunya, semua janji-janji Tuhan yang di-restored (dipulihkan). Karena Tuhan mengingat janji-janji itu dengan sumpah.
(Sumber)
Pesan-pesan Ilahi jelas memperlihatkan bahwa ada agenda Ilahi untuk suku-suku Nusantara dalam membangun Indonesia yang baru. Identitas kesukuan tidak dihilangkan dalam nasionalisme, tapi nasionalisme juga tidak menghilangkan identitas kesukuan.
Papua dan Indonesia adalah satu identitas. Tidak bisa dipisahkan. Sama seperti Jawa, Batak, Dayak, Bugis, Sunda, Ambon, Serua, Minahasa, dan suku-suku yang lain.
Berusaha mengoyak kesatuan itu adalah pekerjaan si Jahat untuk membuang identitas Indonesia yang paling hakiki, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Identitas yang membuat Indonesia unik, sekaligus menjadi mandat apostolik Indonesia di Tubuh Kristus secara universal.
Baca : Tiga Aliran Besar Mewakili Mandat Baru Untuk Ekklesia di Indonesia
Goncangan Sudah Dimulai
Rick Ridding di Hongkong Gathering 2018, sudah mengingatkan bahwa akan ada Goncangan. Tapi dalam goncangan itu Tuhan selalu ada. Dan melalui goncangan-goncangan itu, akan tersaring orang-orang sisa (the remnant) yang akan menjadi satu dan terus menjadi gelombang bersatunya orang-orang sisa dalam kumpulan yang semakin besar.
Through this shaking I will bring forth My Kingdom that cannot be shaken! (Rick Ridding)
Ini waktu Tuhan di Indonesia. Tidak akan ada penundaan lagi! Papua kalian sudah merdeka, kita keluarga Nusantara, kita Indonesia. Bersama-sama ini waktunya bangkit, dan ambil bangian untuk Nusantara yang Baru, Itulah Indonesia Baru! Yesus Tuhan!
Penulis : Hanny Setiawan