Menyikapi Surat Terbuka Denny Siregar
Salam Bhinneka & Damai Sejahtera,
Saudaraku Denny Siregar, hati saya tergetar membaca surat terbuka melalui blog Anda (baca: Surat Untuk Saudara-saudaraku Nasrani dimana Saja Kalian Berada). Saya yakin bukan hanya saya tapi seluruh umat Kristen (kami jarang sekali menyebut diri nasrani lagi, biarpun tidak keberatan disebut nasrani) juga merasakan “sentuhan kasih” yang sama saat membaca surat Anda.
Radikalisme selalu ada di masing-masing kepercayaan. Sebenarnya radikalisme adalah hal yang baik karena kata radikal artinya sampai keakar-akarnya, atau murni dan yang asli. Tapi sayang kata radikalisme sudah tereduksi menjadi fanatisme sektarian yang tidak humanis.
Radikalisme, fundamentalisme, liberalisme, agnotisme, sampai sekular humanis akan selalu ada di tengah-tengah kita. Masing-masing akan memiliki kebenaran yang dipercaya atau yang kita sebut iman. Semua iman dan kepercayaan ini dalam keluarga NKRI dihargai bahkan dilindungi oleh hukum. Dan itu yang kita percaya bersama. Selama tidak melanggar hukum, maka percayalah apa yang hendak dipercaya.
Konflik terjadi ketika apa yang kita percaya berlawanan dengan apa yang hukum positif di Indonesia, disinilah masing-masing pemimpin kepercayaan harus memberikan pemahaman yang benar bagaimana bersikap di rumah bersama NKRI. Dititik inilah politisasi agama bisa masuk dan sangat berbahaya untuk kesatuan bangsa.
Sebab itu, dari sudut pandang ini, saya melihat bahwa surat terbuka dari Bung Denny sangat penting untuk didengar teman-teman Kristen (atau yang mengaku Kristen dari semua aliran). Karena sebenarnya dalam kekristenan sudah jelas pahamnya, orang kristen tidak boleh membalas karena musuh saja kita harus ampuni dan kasihi. Dan dalam hubungan dengan pemerintahan negara, orang kristen harus taat, tunduk, dan hormat kepada para pemimpin yang ada.
Satu hal penting yang terakhir yang saya juga ingatkan untuk kita semua, memisahkan kepercayaan dengan politik tidak bisa segampang memisahkan antara air dan minyak. Apa yang menjadi kepercayaan Anies, Ahok, ataupun Agus akan melekat di ruang publik. Kita harus fair dengan kenyataan itu. Justru akan menjadi munafik apabila diruang publik apa yang dipercaya dalam hati diingkari.
Jadi dalam pemahaman saya, masing-masing jadilah seperti yang diimani, tidak perlu ditutup-tutupi. Transparan dan terbuka saja berdialog. Cuma ingat, kita memiliki garis-garis hukum, etika, dan norma dalam masyarakat yang harus sama-sama kita hidupi.
Akhir kata, untuk Bung Denny terima kasih untuk surat dan himbauannya. Kami sangat menghargainya, dan bersama kita bangun Keluarga Indonesia Baru yang saling mengasihi dan mencintai.
TERKAIT : Agama di Ranah Publik : Menelaah Kasus Pulau Seribu Ahok
TERKAIT : Meskipun Kasar, Mengapa Ahok Tetap Disukai Publik?
Tuhan Yesus Memberkati,
Hanny Setiawan
Relawan Indonesia Baru