Memahami Konstruksi Berfikir Ahok, Sebuah Pembelajaran Kebhinekaan
BeritaMujizat.com – Mandat Budaya – Ahok yang “banyak bacot”, dan “suka menyerang” adalah sebuah realitas bukan cuma kampanye negatif. Ada yang bisa menerima, ada yang tidak bisa menerima, bahkan ada yang jadi antipati karena perilaku Ahok tersebut.
Semuanya sah dalam kebebasan demokrasi, yang bisa menerima “kelemahan” Ahok ini, dukung dia. Yang tidak bisa terima, cari yang tidak banyak bacot, dan lebih tenang pembawaannya. Kemudian semua bertanding dengan fair di Pilkada DKI 2017. Itulah skenario NKRI yang terbaik.
Fenomena Ahok yang kasar, dan tidak simpatik dalam banyak hal ini jelas adalah sebuah kelemahan terendiri. Ahok pun terlihat menyadari hal itu. Biarpun dia tetap teguh dengan jalur kebenaran yang dia ambil, seringkali dia menyebut dirinya “sudah jinak”. Di Mata Najwa Show yang pernah ditayangkan, Ahok secara bergurau menyebut dia “sudah minum obat” jadi sudah ok.
Perilaku Ahok ini menarik untuk dipelajari dalam konteks untuk memahami dinamika psikologi kepimpinan Ahok.
Setiap orang memiliki konstruksi berfikir yang lahir dari nilai-nilai yang dihidupi. Nilai-nilai itu lahir dari kepercayaan yang dipegang. Bisa kepercayaan dalam agama, budaya, maupun subyektif.
Yang jelas adalah nilai-nilai yang dipegang Ahok membuat Ahok berperilaku seperti itu. Nilai-nilai apa yang Ahok pegang?
***
Sebagai sesama Kristen, mungkin saya relatif lebih gampang mengerti Ahok. Dan sebagai sesama keturunan Tionghoa, mungkin saya bisa mengerti sedikit dari sudut pandang etnis. Tapi harus dimengerti, Ahok masih bisa bahasa chinese, saya sudah Cina yang “Javanese inside”. Alias kata, tidak bisa lagi bahasa chinese, dan lebih banyak hidup dengan orang Jawa daripada dengan orang keturunan Cina.
Berbeda dengan kasus Jokowi, saya memahami Jokowi dari sudut pandang orang Jawa dan sama-sama orang Solo. Sebab itu saya juga mengerti mengapa beberapa teman yang dididik barat dan berpola pikir Either Or lebih menyukai Prabowo yang berbasis komando. Untuk mengerti Jokowi harus mengerti pola pikir Both And dan Jawani.
Kembali ke Ahok, dari sudut pandang kekristenan, dia adalah sebuah manifestasi dari teologi reformasi (reformed theology) yang cukup representatif. Di Indonesia, Pdt. Stephen Tong adalah tokoh dari teologi ini. Sebab itu ada kemiripan perilaku antara Stephen Tong dan Ahok.
Stephen Tong dikenal sebagai pendeta keras, dan suka menyerang kelompok pemikiran kristen lainnya, tetapi sangat bersih dan jujur. Perpaduan yang “Ahok banget”.
***
Ada tiga nilai utama dalam pemikiran teologi reformasi yang baik untuk dimengerti, sehingga baik pendukung atau penentang Ahok bisa memahami Ahok secara lebih obyektif:
1. Berdasarkan Wahyu/Hidayah/Revelation.
Berkali-kali Ahok memakai istilah hidayah yang memiliki arti sama dengan wahyu atau revelation. Dalam konteks yang lebih luas, iniah titik awal semua nilai yang dipercaya. Semua dari Tuhan, oleh Tuhan, bagi Tuhan. Soli deo Gloria. Segala kemuliaan bagi Tuhan.
Pemahaman ini apabila termanifestasi dalam perilaku akan membuat seseorang “nothing to lose”. Artinya, tidak ada beban dan menjadi berani. Dalam pengertian inilah lahir kata “jihad”, yang secara luas berarti berani mati untuk nilai yang dipercaya karena yakin itu adalah sebuah perintah Tuhan.
Sebab itulah bisa dipahami apabila Ahok berkata, “Jangankan dipanggil DPR, dipanggil Tuhan pun saya siap”. Atau istilah yang dikutip dari Paulus, “Mati itu sebuah keuntungan”.
2. Berdasarkan Kebenaran.
Dalam teologi reformasi, kebenaran adalah dasar dari segalanya. Dalam konteks agama, kebenaran berdasarkan kitab suci, tapi dalam konteks bernegara kebenaran berdasarkan konstitusi. Perbedaan antara konstitusi dan kitab suci, dalam kekristenan disikapi dengan tetap tunduk dan hormat kepada pemerintah yang ada.
Ini yang menyebabkan Ahok sangat kokoh dalam mengambil keputusan. Selama dia yakin itu tidak melanggar konstitusi, UU, dan hukum positif yang berlaku dia akan ambil tindakan apapun resikonnya. Manifestasi pemikiran ini dalam bernegara kadang masuk arus pemikiran (school of thought) yang disebut JUST WAR.
Ahok mengambil sikap dia sedang berperang melawan korupsi. Sebab itu dia tidak merasa perlu bersikap manis dengan penjahat-penjahat yang diperangi. Dalam perang kill or to be killed yang menjadi pemikirannya. “Nothing to prove” Ahok tidak berusaha membuktikan apapun, dia hanya menjalankan misi kebenaran. Berantas korupsi. Black or white. Titik.
Dari sudut pandang ini, sebenarnya pola pikir Ahok lebih mirip Prabowo dariada Jokowi, karena Prabowo juga seorang tentara yang bagi dia semua adalah perang, sebab itu apapun caranya digunakan untuk menang. Kalau Jokowi, masih bisa ‘kompromi’ di grey area. Sebab itu, Jokowi mampu bermain didalam sistem kepartaian, menghadapi DPR, dan menjaga stabilitas. Tapi kritik yang harus dihadapi adalah peperangan melawan korupsi jadi agak abu-abu. Sehingga lahirlah kasus-kasus seperti Budi Gunawan di awal pemerintahan.
3. Berdasarkan Rahmat/Kasih Karunia
Amanah bagi Ahok adalah kepercayaan rakyat. Rakyat yang dalam demokrasi mewakili “suara Tuhan” adalah sebuah rahmat atau kasih karunia yang harus dihargai. Dalam konteks ini, ketika harus memilih jalur partai atau independen maka Ahok lebih merasa nyaman dengan jalur independen daripada mengkhianati kepercayaan Teman Ahok.
Hidup dalam kasih karunia tidak membuat malas tapi juga bekerja keras melebihi yang lain karena ucapan syukur atas apa yang diberikanNya. Dan semangat kerja keras ini bisa disalahartikan sebagai ambisi, tapi itulah sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan hidup dalam kasih karunia.
Apabila tidak dipilih lagi pun, bagi orang seperti Ahok yang mengerti konsep kasih karunia tidak akan menjadi banyak masalah. Karena memang yang prinsipnya We do our best, and God will do the rest.
Selain 3 nilai utama diatas tentunya masih ada banyak yang mempengaruhi pola pikir Ahok, sehingga pada akhirnya mempengaruhi perilakunya. Tapi pada dasarnya, ketiga hal itu yang sangat menonjol dari Ahok. Bersih, Transparan, dan Professional (BTP) yang bisa dikatakan adalah manifestasi dari Wahyu, Kebenaran, dan Kasih Karunia.
***
Ahok bukan nabi, dewa, apalagi Tuhan. Kekurangan dia tentu ada. Dan Ahok harus terus belajar untuk tidak membunuh kecoak dengan bom, tapi cukup dengan baygon. Artinya, Ahok sudah di jalur yang benar memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi akar kebobrokan Indonesia. Tapi Ahok dan tim harus belajar mengurangi dosis “antibiotik” sehingga tidak membuat keracunan obat dalam perjalanan menyembuhkan Jakarta, dan NKRI.
Kombinasi Jokowi-Ahok pada akhirnya memang saling melengkapi dan menyeimbangkan. Sehingga di Istana merdeka, Jokowi bisa kena serang disisi yang seharusnya ditutup Ahok, dan di balai kota Ahok terlihat membutuhkan Jokowi untuk “menolong dia”.
Dalam panggung Pilkada DKI 2017, brand Ahok yang Bersih, dan anti Korupsi inilah yang sulit dikalahkan oleh orang-orang baru atau lama.
Rakyat Indonesia sudah cukup muak dengan kemunafikan, kebaikan yang tanpa kebenaran, tuhan yang tidak berkemanusiaan, sampai akhirnya nama tuhan yang diperjualbelikan.
Indonesia sudah cukup dengan retorika, dan tidak membutuhkan basa-basi. Sekarang waktunya Indonesia membutuhkan revolusi. Revolusi Ahok.
Penulis : Hanny Setiawan
Sumber : Kompasiana.com/hannysetiawan