Gereja Harus dengan Tegas Menolak Legalitas Pernikahan Sejenis baik di Gereja ataupun Negara
BeritaMujizat.com – Teologi – Legalisasi pernikahan sejenis adalah fenomena masyarakat post-sekuler yang menujukan ketertarikan pada spiritualitas dan agama namun menolak ajaran agama yang dianggap fundamental dan tradisional. Masyarakat post-sekuler ini tidak lagi mendewakan rasionalitas dan mulai makna yang baru dalam spiritualitas.
Pandangan ini adalah pandangan yang muncul dari seorang filsuf sosial politik modern bernama Habermas. Sisi positif dari pandangan Habermas ini adalah kembalinya gairah agama atau spiritualitas bahkan hingga bagaimana agama muncul di ruang publik. Agama yang dulu sempat dianggap kuno dan punah kini keluar dari ruang-ruang privat, menjawab kekosongan atau kegagalan sekulerisme yang diagung-agungkan masyarakat modern.
Pandangan Habermas tentang masyarakat post-sekuler ini memberikan ruang baru diskusi baru teologi Kristen dalam meresponi persoalan dan dinamika yang terjadi saat ini termasuk legalitas pernikahan sejenis. Dalam hal ini penulis ingin membawa sikap terhadap legalitas pernikahan sejenis dalam dialog yang lebih terbuka. Upaya ini sekaligus berusaha memperlihatkan aspek keindahan dari fundamentalisme Kristen yang selama ini tidak terlihat.
Berdasarkan fakta yang tertuang dalam Alkitab sebagai firman Tuhan, mudah sekali menegaskan bahwa Gereja harus menolak legalitas pernikahan sejenis baik secara agama maupun negara (sipil). Alkitab secara eksplisit maupun implisit dengan tegas menerangkan bahwa pernikahan adalah heteroseksual antara laki-laki dan perempuan.
Konsep pernikahan monogami antara laki-laki dan perempuan telah dituliskan sebagai rancangan awal manusia (Kejadian 2 : 24). Pernikahan monogami antara laki-laki dan perempuan ini adalah dasar keluarga Kristen yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya masyarakat hingga peradaban manusia (Kejadian 1 : 28).
Dalam hal ini Kekristenan berdasarkan desain yang tertuang dalam Alkitab tidak hanya melihat sebagai pemenuhan kebutuhan seksual semata. Pernikahan merupakan bagian dari konsep tentang keluarga dan bagiamana membangun pemerintahanNya. Secara ekstalogis konsep pernikahan juga menjadi simbol bagaimana relasi kasih Allah kepada umatnya.
Relasi vertikal dan horisontal yang terdapat pada konsep pernikahan monogami dan heteroseksual inilah menjadi dasar bahwa Gereja harus dengan tegas menolak legalitas pernikahan sejenis baik dari Gereja maupun Negara. Dengan sikap tegas ini lalu bagaimana dengan kaum LBGTQ yang mulai berziarah dalam iman Kekristenan?
Berdasarkan rancangan Tuhan atas manusia tentang, pribadi, gender, dan pernikahan, LBGTQ harus dilihat sebagai bentuk ketidaknormalan seksual. Alkitab juga mencatat bahwa penyimpangan seksual adalah sebuah dosa dan bentuk kenormalan (Roma 1 : 27). Pemaksaan legalitas pernikahan sejenis justru membuat kaum LBGTQ tidak dapat mengalami kemerdekaan yang sejati didalam Kristus.
Penolakan legalitas pernikahan LGBTQ ini tidak lantas memakksa kaum LGBTQ menikah secara normal. Penolakan legalitas pernikahan sejenis menawarkan kaum LBGTQ untuk mendapatkan kasih karunia untuk mengalami pembaharuan dalam Kristus. Bahkan dalam Kekristenan ada kasih karunia untuk hidup selibat sebagai bentuk mengalami kasih Tuhan secara utuh.
Kasih karunia ini tentu menjadi jawaban atau pergolakan batin akibat ambiguitas gender yang dialami oleh kaum LGBTQ. Paulus dengan tegas orang-orang dengan hidup selibat adalah orang-orang yang mendapatkan kasih Allah secara khusus (1 Kor 7:1-40). Paulus bahkan mendorong orang-orang yang telah menikah untuk mempunyai respon seperti orang yang selibat sehingga dapat mengalami cinta kasih Allah luar biasa. Kasih karunia dan keindahan selibat ini tentu tidak dapat dialami atau dilihat dalam legalitas pernikahan sejenis.
Penulis : GIlrandi ADP