Matesis: Arti Asli Menjadi Murid
BeritaMujizat.com – Teologi – Di tengah arus gereja modern yang sering mengukur iman lewat aktivitas, posisi, atau pengalaman rohani, ada satu kata Yunani kuno yang membawa kita kembali ke inti panggilan Yesus: μάθησις (mathēsis), yang berarti pembelajaran, proses memahami, dan menjadi murid sejati.
Dari sinilah kata μαθητής (mathētēs) — “murid” — berasal. Dengan kata lain, inti kekristenan bukanlah sekadar ibadah atau pelayanan, melainkan matesis: perjalanan pembelajaran bersama Sang Guru. Kata matesis berasal dari akar Yunani μανθάνω (manthanō), yang berarti belajar, memahami, menerima ajaran melalui pengalaman.
Walau bentuk nominal mathēsis sendiri tidak muncul langsung dalam Alkitab, kata kerjanya (manthanō) dan turunannya (mathētēs) mendominasi teks Perjanjian Baru. Yesus berkata, “Belajarlah dari-Ku” (mathete ap’ emou, Matius 11:29). Ini bukan ajakan intelektual belaka, melainkan undangan eksistensial untuk masuk dalam proses pembentukan ilahi — sebuah matesis rohani di mana hati, pikiran, dan tindakan dipulihkan oleh Sang Guru.
Dari akar yang sama muncullah istilah μαθητής (mathētēs), yang berarti “orang yang belajar” atau “murid.” Dalam Injil dan Kisah Para Rasul, kata ini muncul lebih dari dua ratus enam puluh kali, menjadikannya identitas utama pengikut Kristus. Yesus tidak pernah memanggil orang untuk sekadar menjadi umat atau penggemar; Ia memanggil mereka untuk menjadi murid — para pembelajar kebenaran ilahi.
Amanat Agung “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (mathēteusate panta ta ethnē) sesungguhnya adalah mandat matesis universal: panggilan agar gereja menjadi komunitas pembelajar Allah, bukan sekadar tempat ibadah, tetapi sekolah kehidupan dalam Kerajaan Allah. Dalam ranah filsafat Yunani klasik, matesis memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar aktivitas belajar.
Bagi Plato, mathēsis adalah pendakian jiwa menuju kebenaran — proses di mana pikiran manusia dibimbing untuk mengingat kembali ide-ide ilahi yang telah tertanam dalam dirinya. Bagi Aristoteles, matesis adalah cara akal budi menata pengalaman menjadi pengetahuan sistematis. Sementara Descartes di kemudian hari menyebutnya sebagai mathesis universalis, yakni ilmu universal tentang keteraturan dan rasionalitas segala hal, fondasi dari segala ilmu pengetahuan.
Dalam terang iman Kristen, seluruh makna filsafat ini menemukan puncaknya: matesis bukan hanya proses rasional memahami dunia, tetapi perjalanan spiritual untuk mengenal Allah yang menata dunia itu sendiri. Rasul Paulus menulis, “Aku telah belajar (emathon) mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Filipi 4:11). Ia tidak hanya belajar konsep, tetapi mengalami perubahan natur melalui pembelajaran bersama Roh Kudus.
Dengan demikian, matesis bukan sekadar kegiatan intelektual, tetapi pembelajaran pneumatologis — di mana Roh Kudus menjadi pengajar yang menuntun manusia memahami hikmat Allah. Gereja, dalam kerangka ini, bukan sekadar lembaga ritual, tetapi ekosistem pembelajaran ilahi. Ibadah menjadi kelas rohani, doa menjadi latihan kontemplasi, dan pelayanan menjadi laboratorium kasih.
Menjadi murid berarti menjadi pembelajar yang terus-menerus diperbaharui — bukan hanya di awal pertobatan, tetapi sepanjang hidup. Matesis menandai dinamika iman yang tumbuh, iman yang berpikir dan merenung, namun juga menghidupi wahyu dengan kasih.
Kekristenan sejati adalah persekutuan mathētēs — mereka yang sedang belajar mengenal Kristus dan diubah oleh-Nya. “Matesis” mengajarkan bahwa iman Kristen bukanlah penyerahan tanpa pengertian, melainkan penyerahan yang dilandasi pemahaman akan Allah yang terus berkembang. Belajar menjadi bentuk penyembahan, dan penyembahan menjadi cara belajar tertinggi.
Seperti kata Yesus, “Setiap orang yang telah mendengar dan belajar dari Bapa datang kepada-Ku” (Yohanes 6:45). Di sinilah matesis mencapai puncaknya: pembelajaran bukan sekadar pengetahuan, melainkan relasi dengan Sang Guru Agung.
“To be a Christian is to be a lifelong learner of Christ — a living embodiment of divine matesis.”
Penulis : Hanny Setiawan