Pendalaman AlkitabTeologi

Tulisan Mun’im Sirry Mengupas Perbedaan Kristen dan Nasrani


arabic-letter-n-nasrani-iraq

BeritaMujizat.com – Pendalaman Alkitab – Tulisan Mun’im Sirry Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA di Geotimes.co.id sangat kaya dengan apa yang disebut kritik tekstual (critical criticisim).

Tulisannya sangat informatif sekaligus inspiratif untuk kita orang Kristen juga bisa belajar lebih dalam asal mula kata Nasrani, dan bagaimana penggunaannya dijaman itu. Pengertian-pengertian yang luas ini bisa membekali dialog-dialog antara Kristen-Islam dalam konteks kesatuan dan kebangsaan.  Berikut tulisannya:


Umat Kristiani Bukan Nashara [Kaum Nasrani]

Dalam bahasa Arab, kata “nashara” merupakan bentuk jamak dari “nashrani”. Sebutan “umat Nasrani” secara salah-kaprah digunakan untuk merujuk pada umat Kristiani, penganut agama Kristen. Kita sering jumpai ucapan selamat Natal dari sebagian kaum Muslim diawali dengan kalimat “Buat kawan-kawan umat Nasrani”. Bahkan, dalam tulisan teolog Kristen Rinto Pangaribuan (Geotimes, 23 Desember 2016), kata “Nasrani” dan “Kristen” digunakan secara bergantian.

Sepanjang sejarah Kristen, umat Kristiani tidak menyebut diri mereka sebagai “nashara” atau kaum Nasrani. Orang-orang Kristen Arab menyebut diri mereka dengan kata “masihiyyun” (pengikut al-Masih) dan karena itu agama Kristen disebut “masihiyyah”. Di kalangan komunitas non-Arab pun istilah “nashara” tidak digunakan untuk menyebut para pengikut Yesus.

Dalam literatur Kristen berbahasa Suriah (Syriac), misalnya, dikenal istilah mshihaya. Yakni, seperti padanan Arabnya, para pengikut al-Masih. Juga, dalam bahasa Yunani lebih dikenal sebutan kristyana, yang berarti pengikut Kristus.

Kaum Muslim menggunakan istilah nashara atau nashrani karena al-Qur’an menggunakan kedua kata tersebut. Siapakah kaum nashara dalam al-Qur’an? Bolehkah kita memanggil umat Kristiani sekarang dengan sebutan nashara? Sebelum pertanyaan terakhir dijawab “tidak”, kita perlu diskusikan pertanyaan pertama dahulu.

“Nashara/Nashrani” dalam al-Qur’an

Kata “nashara/nashrani” muncul empat belas kali dalam al-Qur’an. Selain itu, Kitab Suci kaum Muslim juga menggunakan istilah “ahlul kitab” sebanyak lima puluh empat kali, yang mencakup di dalamnya umat Kristiani. Dalam satu ayat, umat Kristiani disebut “ahlul injil”. Ketiga istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada para pengikut Isa, putera Maryam.

Menarik dicatat, di antara ketiga istilah tersebut, kata “nashara” yang paling sedikit didiskusikan. Padahal, istilah itu sebenarnya yang paling problematik atau, setidaknya, enigmatik. Kaum Muslim sekarang secara taken-for-granted mengira bahwa nashara/nashrani merupakan sebutan yang diterima luas oleh umat Kristiani. Bahkan, mungkin sebagian umat Kristiani sendiri tidak mengetahui bahwa nashara/nashrani adalah sebutan yang bersifat peyoratif.

Sebelum didiskusikan lebih lanjut watak peyoratif istilah nashara, ada baiknya disebutkan terlebih dahulu aspek filologis dan leksikografis dari kata enigmatik itu. Sebenarnya para mufasir Muslim awal tampak kesulitan melacak etimologi kata “nashara”.

Ada dua tafsir yang mereka ajukan. Pertama, melacak kata “nashara” dari sisi geografis, yakni dikaitkan dengan nama daerah di mana Isa dan Maryam tinggal, Nasirah (Nazareth). Dengan demikian, nashara adalah para pengikut seorang (Yesus) yang berasal dari Nasirah. Dalam nomenklatur Kristen, kita kerap jumpai penyebutan Yesus dari Nazaret. Tafsir ini sangat umum dianut oleh ulama Muslim awal, seperti direkam oleh Tabari (w. 923).

Kedua, di kalangan para mufasir belakangan, kata “nashara” dilacak ke akar kata Arab n-sh-r yang berarti “menolong”. Pelakunya disebut “nasir” (bentuk jamaknya, “anshar”). Pelacakan etimologis seperti ini didasarkan pada ayat al-Qur’an (QS. 3:52) yang merekam pernyataan murid-murid Yesus (hawariyyun). Ketika Isa bertanya, “man anshari ila allah?” (Siapa penolongku menuju Allah?). Mereka menjawab, “nahnu anshar allah” (Kami adalah para penolong Allah).

Kedua tafsir di atas dikenal luas dalam kesarjanaan Muslim, walaupun dari segi tata-bahasa Arab sulit dipahami transformasi “nashirah” atau “nashir/anshar” menjadi “nashrani” atau “nashara”. (Mereka yang tahu bahasa Arab pasti mengerti apa yang saya maksud.) Karena itu, untuk memahami siapa “nashara/nashrani” diperlukan penelitian yang lebih mendalam terhadap konteks historis di mana al-Qur’an muncul.

Penelitian historis itu diperlukan bukan hanya karena kita kesulitan melacak asal-usul “nashara” dari bahasa Arab, tetapi juga keyakinan orang-orang nashara berbeda dari umat Kristiani pada umumnya. Al-Qur’an menuduh orang-orang nashara mengakui triteisme (tiga Tuhan), padahal umat Kristiani mengimani Trinitas. Tiga Tuhan yang menjadi keyakinan kaum nashara terdiri dari Allah, Isa dan Maryam, padahal Trinitas itu terdiri dari Bapa, Anak, dan Ruh Kudus.

Karena itu, menganggap nashara (kaum Nasrani) sebagai umat Kristiani punya konsekuensi serius. Yakni, al-Qur’an bisa dianggap salah paham terhadap doktrin Kristen. Sebab, doktrin-doktrin yang dinisbatkan kepada kaum nashara berbeda dari keyakinan umat Kristiani. Maka, berhentilah menyebut umat Kristiani sebagai nashara atau kaum Nasrani!

Penjelasan Alternatif

Pertanyaan yang tersisa ialah: Kenapa al-Qur’an menggunakan istilah “nashara”? Apakah istilah itu sudah digunakan sebelum al-Qur’an? Oleh siapa dan kepada siapa?

Tentu saja, al-Qur’an tidak menginvensi istilah tersebut dari kevakuman. Istilah nashara sudah digunakan jauh sebelum al-Qur’an muncul ke permukaan sejarah. Kata “nasrani” hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Yakni, dalam Kisah Para Rasul (24:5). Ketika Paulus menjadi tertuduh di hadapan Gubernur Romawi, Feliks, penasihat hukum orang-orang Yahudi, Tertulus, menyebut Paulus sebagai “seorang tokoh dari sekte Nasrani”.

Barangkali, maksud pernyataan Tertulus ialah Paulus sebagai pengikut seorang dari Nazaret. Para sarjana masih berdebat soal identitas “sekte Nasrani” itu, walaupun semua sepakat bahwa Tertulus menggunakan istilah tersebut dengan tujuan merendahkan atau menghina Paulus. Dari situ dapat dimegerti kenapa umat Kristiani tidak pernah menyebut diri mereka dengan sebutan “nashara” atau kaum Nasrani.

Kendati literatur Kristen tidak menggunakan nashara melainkan mshihaya atau kristyana, sumber-sumber berbahasa Suriah dan Yunani menyebutkan penggunaan “nasraya” (Arab: nashara) di kalangan non-Kristen, dan terutama di Persia hingga abad ke-5. Para penulis Suriah menggambarkan bahwa orang-orang Pagan Persia dan, bahkan, Suriah sendiri memanggil kaum Kristiani dengan sebutan nasraya. Jelas, istilah itu berkonotasi negatif dan karenanya dihindari oleh para penulis Kristen.

Bagi para penulis Kristen, kaum Kristiani bukan nashara. Pada abad ke-5, St. Epiphanius dari Salamis menulis karya heresiografi penting, Panarion, yang sampai kepada kita sekarang, dan menyebut kaum Nasrani sebagai sekte Yahudi-Kristen kuno yang heretik. Panarion bisa disejajarkan dengan al-Milal wa al-nihal-nya Ibnu Hazm (w. 1064) atau Syahrastani (w. 1153). Epiphanius menyebut sekte-seke Kristen awal, termasuk sekte Nasrani itu, untuk ditolak sebagai tidak merepresentasikan agama Kristen.

Sebagian sarjana modern, seperti François de Blois, berargumen bahwa apa yang digambarkan Epiphanius tentang nashara punya kemiripan dengan Kristologi al-Qur’an. Logika lanjutan dari argumen ini, doktrin-doktrin yang dikritik al-Qur’an bukanlah keyakinan kaum Kristiani, melainkan sekte heretik yang juga ditolak keras oleh Kristen sendiri, seperti konsepsi tiga Tuhan itu. Ketika al-Qur’an memasukkan Maryam sebagai satu dari tiga Tuhan, Epiphanius melacak keyakinan seperti itu pada sekte yang berkembang di Arabia antara abad ke-4 dan 5, yang dikenal dengan sebutan sekte Collyridians.

Penjelasan “heretik” ini diterima luas di kalangan sarjana-sarjana modern. Namun demikian, dalam kesarjanaan mutakhir, ada perkembangan cukup signifikan yang mempersoalkan pandangan yang menempatkan Arabia sebagai “the motherland of heretics”. Kajian belakangan cenderung menguatkan hipotesis bahwa Arabia tidaklah sedemikian terisolasi sebagaimana diasumsikan, sehingga tak dapat dipandang sebagai tempat kaum heretik.

Lalu, kenapa al-Qur’an menyebut umat Kristiani sebagai “nashara”? Barangkali retorika al-Qur’an itu menggambarkan iklim polemik di mana al-Qur’an muncul. Pendekatan baru terhadap retorika kritik al-Qur’an ini dapat dibaca dalam buku saya, Polemik Kitab Suci (Gramedia, 2013) atau edisi Inggrisnya Scriptural Polemics (Oxford, 2014).

Perbedaan pendekatan “heretik” dan “retorika polemik” punya implikasi berbeda dalam memahami al-Qur’an. Tapi, kedua pendekatan tersebut bersepakat tentang satu poin: Tidak dibenarkan memanggil umat Kristiani dengan sebutan nashara, karena mereka bukan kaum Nasrani. Agama Kristen bukan sekte heretik dan kita tidak hidup dalam iklim polemik.

 

Penulis  : Mun’in Sirry
Sumber  : Geotimes.co.id

 

Comments

Related Articles

Back to top button